Sabtu, 14 Juni 2008

SIMANIS " ALPUKAT" Dari Muara Pingai

Sejak diluncurkan 2003 lalu, alpukat varietas unggul Mega Murapi belum banyak ditanam petani. Transportasi jadi kendala.

Alpukat adalah buah yang enak dimakan. Bisa dengan cara dijus, campuran es campur, puding, campuran salad, atau dimakan langsung setelah mengupas kulitnya. Bukan hanya enak, tapi juga menyehatkan sebab alpukat mengandung asam folat dan vitamin E, serta tinggi kadar kalsiumnya.


Mereka yang rajin mengonsumsi alpukat bisa terhindar dari risiko stroke. Soalnya, alpukat satu-satunya buah yang kaya lemak. Tapi bukan lemak jahat, melainkan lemak tak jenuh tunggal yang bersifat antioksidan kuat yang bisa melawan lemak jahat, penyebab stroke. Maka, tidak heran kalau alpukat banyak dijumpai, baik di pasar-pasar tradisional maupun di supermarket.

Melihat alpukat memiliki berbagai keunggulan, Balai Penelitian Buah Tropika (Balitbu) di Solok, Sumatera Barat, sudah sejak lama melakukan pemuliaan tanaman alpukat agar dapat menghasilkan varietas unggul. Dengan menggunakan tanaman induk tunggal milik Asmawi Bagindo Sati, petani di Desa Muara Pingai, Kecamatan Junjung Sirih, Solok, para peneliti Balitbu berhasil meluncurkan varietas unggul.

Proses pemuliaan itu relatif tidak menemui hambatan, karena kebetulan masyarakat di sana banyak yang menanam alpukat. Terdapat tiga varietas yang mereka hasilkan, salah satu diantaranya Mega Murapi. Penetapan dan pelepasan varietas unggul Mega Murapi ini telah berlangsung pada 2003 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Bungaran Saragih No. 519Kpts/PD.210/10/2003.

Ada beberapa kelebihan alpukat ini. Misalnya, dalam satu pohon bisa menghasilkan 350-450 buah atau setara 180-225 kilogram per pohon setiap tahunnya. Bobot setiap buah 400-600 gram dengan ketebalan daging sekitar dua sentimeter. Rasanya manis, pulen, kering, lembut, warna daging kekuningan seperti mentega, dan warna kulit hijau dengan permukaan kasar.

“Diolah atau dimakan begitu saja juga enak,” kata Harlion, salah seorang peneliti dari Balitbu. Karena di dalam setiap buah terkandung kadar gula 0,91%, protein 1,37%, serat 0,32% dan lemak 7, 58%.

Alpukat ini juga berbuah terus menerus. “Seperti buah sawo,” imbuh Harlion. Bentuk buahnya bulat agak lonjong, tapi bijinya bulat. Cara pembudidayaan terbilang gampang, yakni dengan teknik okulasi atau sambung pucuk. Nah, dari okulasi hingga berbuah memakan waktu sekitar dua tahun. Bandingkan dengan alpukat biasa, yang bisa memakan waktu sampai lima tahun. Tanaman ini pun bisa ditanam di tanah pada ketinggian sampai 600 meter di atas permukaan laut (dpl). “Bahkan agak lebih tinggi sedikit dari itu juga masih bisa tumbuh dan berbuah,” lanjut Harlion.

Sayang, sejak diluncurkan sampai sekarang belum banyak petani yang tertarik menanamnya. Hanya sebagian kecil petani di Sumatera Barat. “Kami sudah sebarkan ke berbagai lembaga penelitian, tapi baru sebatas benih sumber,” kata Harlion. Artinya, lembaga penelitian yang tersebar di berbagai daerah diharapkan bisa memperbanyaknya dengan teknik okulasi hingga bisa menjadi benih sebar yang siap ditanam.

Menurut Harlion, salah satu kendala untuk menyebarkan bibit alpukat ini ke para petani di berbagai kawasan di luar Sumatera Barat adalah transportasi. Padahal dalam SK Mentan disebutkan, tingkat produksi yang tinggi dari Mega Murapi berpotensi mengangkat buah unggulan daerah kepada khalayak yang lebih luas. (IMF)

Sumber: "Tani Merdeka"

Tidak ada komentar: